Sunday, June 29, 2008

Autobiografi Mama Lauren (bag.2)


Banyak orang tua melarang anaknya bermain bersamanya. Bahkan, mereka menyebut Lauren kecil terkena kutukan.

Hidup untuk Mengemban Misi
Bahwa saya memiliki sesuatu yang lain dalam diri saya, hal itu memang sudah saya sadari. Tapi, baru saat berusia 12 tahun, saya mulai meyakini betul bahwa saya memiliki indra keenam yang tajam.

Bom peperangan yang bisa meledak sewaktu-waktu membuat saya pernah mengalami suatu kejadian yang sulit dipercaya. Sampai detik ini, kalau mengingat kembali peristiwa itu, saya sungguh merasa sangat bersyukur. Saya masih diizinkan untuk terus hidup.

Bagaimana tidak, kedua orang teman yang terkurung bersama saya selama tiga hari tiga malam di dalam shelter, tidak dapat diselamatkan lagi. Saya beruntung karena tim SAR menemukan tempat perlindungan kami, yang tertutup rata oleh puing-puing bangunan yang hancur lebur akibat bom, pada saat yang tepat. Menurut Oma Antoineta, saat ditemukan, kondisi saya amat mengenaskan. Bahkan, saya sempat disangka sudah mati.

Saya masih ingat betul ketika kami bertiga terkurung di dalam shelter yang runtuh. Rasanya pita suara kami nyaris putus akibat berteriak-teriak minta tolong, tanpa seorang pun yang mende-ngar. Sangat mengerikan.

Apalagi, kami juga kehabisan persediaan bahan makanan dan minuman. Saat itu, saya belum tahu bagaimana nasib kedua teman saya, soalnya saya sudah keburu kehilangan kesadaran. Hanya, sebelum black out, samar-samar saya masih sempat mendengar suara yang mengatakan bahwa belum saatnya saya mati. “Kamu harus hidup. Kamu masih punya tugas penting di dunia ini….”

Entah berapa hari kami terkurung di dalam shelter itu. Saat siuman, tahu-tahu saya sudah ada di rumah sakit. Kepada Oma Antoineta, saya lalu menceritakan pesan dari ‘suara’ yang saya dengar itu. Bahwa saya selamat karena masih ada misi yang harus saya jalani dalam hidup, meski saat itu saya belum tahu persis apa yang dimaksudkan dengan ‘tugas penting’ itu.

Saya agak terhibur karena Oma Antoineta ternyata mendukung saya sepenuhnya. Dengan mata berbinar, dia mengatakan, sebagai keturunan kaum gypsy, kami memang dianugerahi bakat khusus untuk bisa melihat masa depan. Namun, Oma Antoineta tidak ingin kekuatan itu malah menjadi beban bagi saya. Ya, sejak itulah, untuk pertama kalinya saya menyadari bahwa saya memiliki indra keenam yang harus digunakan dengan tanggung jawab yang besar!

Masa Remaja yang Hilang
Benarkah saya kehilangan masa remaja? Bisa jadi, orang berpikir demikian, jika mengetahui masa remaja saya yang tidak seperti remaja pada umumnya. Berpesta dansa atau bergaul hura-hura nyaris tidak pernah saya lakukan. Setelah ditinggal pergi oleh orang-orang tercinta, dari hari ke hari hidup saya lebih banyak diisi dengan belajar dan bekerja.

Sejak Oma Antoineta meninggal dunia, seorang bibi berbaik hati memasukkan saya ke sebuah asrama. Mungkin dia berpikir, itu jalan terbaik agar hidup keponakannya tertata lebih baik. Tapi, tidak bagi saya. Sebagai ‘pelakon utama’, saya tahu betul apa yang saya inginkan. Tinggal di asrama sama saja memasung kebebasan hakiki saya.
Bukan kehidupan teratur pemberian orang lain yang bisa mem-bahagiakan saya, melainkan perjuangan dan kegigihan diri saya sen-diri. Karena itulah, saya tidak tahan hidup di asrama. Baru seminggu di sana, saya memutuskan untuk… kabur!

Berbekal tekad bahwa saya mampu menghidupi diri sendiri, saya pun berjuang mati-matian bekerja membanting tulang. Pekerjaan pertama saya adalah pencuci piring restoran. Dengan roti dan secangkir minuman di tangan, pukul 05.30 pagi saya sudah berjalan kaki menahan hawa dingin menuju ke tempat kerja. Selesai bekerja beberapa jam, saya sekolah sampai pukul 15.00 sore.

Pukul 17.00 saya kembali bekerja sebagai kasir di toko sepatu hingga pukul 20.00 malam. Sedikit waktu yang tersisa di malam hari saya gunakan untuk belajar. Tak jarang sambil terkantuk-kantuk karena kecapekan. Jadi, saya benar-benar tak punya waktu lagi untuk bersenang-senang seperti remaja lainnya.

Kehidupan seperti itu berlangsung selama beberapa tahun. Tak apa, yang penting saya bisa membayar kos dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Beruntung biaya sekolah gratis, sehingga saya masih bisa menabung. Harus diakui, saya sangat hemat dalam urusan keuangan. Makan dan rekreasi bukanlah prioritas saya. Saya bersyukur bisa hidup mandiri dan tidak putus sekolah.

Walaupun prestasi tidak terlalu istimewa, saya tidak pernah ting-gal kelas. Saya hanya bertekad, kalau tidak rajin menuntut ilmu, apa yang akan saya miliki kelak? Kesadaran untuk giat menuntut ilmu ini secara tidak langsung muncul akibat dorongan dari adik tiri saya. Ria selalu bilang, ”Kakak sekolah, deh, biar pintar.”

Mungkin, orang akan berpikir, alangkah keringnya masa remaja saya. Pernahkah saya jatuh cinta? Ha... ha... ha... rasanya saya tidak pernah mengalami yang namanya ‘cinta monyet’, ‘cinta kingkong’, atau apa pun namanya. Tapi, memang, ada masa-masa saya dekat dengan beberapa pemuda. Saya punya teman khusus di kolam renang (karena waktu itu saya gemar berenang), saya juga punya teman dekat di klub hand ball (semacam permainan kasti).

Tapi, ya, cuma begitu. Tidak pernah benar-benar berpacaran. Jujur saja, kehidupan yang keras membuat saya tumbuh menjadi gadis yang sulit untuk bermanja-manja, apalagi kepada pria. Bila harus menunduk malu-malu atau mengalah pada anak laki-laki, aduh… saya tidak bisa!

Kepincut Pria Indonesia
Kalau dipikir-pikir, hidup ini memang ajaib. Walaupun saya hidup sebatang kara, ternyata ada saja orang berhati emas yang punya andil memajukan kehidupan saya. Bukan sanak, bukan saudara. Profesor Van der Berg adalah seorang ahli parapsikologi dari Universitas Leuven. Dia bertemu saya setelah saya lulus dari sekolah menengah. Katanya, dia menangkap sinar pada diri saya. Ada bakat spesial yang tersembunyi, tapi saya tidak punya kemampuan untuk mengasahnya!

Selama itu saya memang menjalani hidup apa adanya, mengalir seperti air. Bahkan, saking sibuknya memenuhi kebutuhan perut, saya sempat ‘lupa’ bahwa sebetulnya saya punya kemampuan khusus. Sekali waktu saya terpikir juga untuk mengetahui, apa, sih, misi penting yang harus saya lakukan di dunia ini?

Saya memang pernah mendatangi sejumlah orang tua yang, kabarnya, memiliki kemampuan paranormal, untuk membantu saya menemukan jawaban yang selama ini saya cari. Tetapi, karena tidak mendapatkan jawaban memuaskan, akhirnya semua itu terlupakan begitu saja. Saya baru tersadarkan kembali setelah bertemu dengan Prof. Van der Berg.

Pria yang baik hati itu --bersama istrinya-- tidak memiliki keturunan, dan mengajak saya untuk tinggal bersama mereka. Mulanya saya menolak karena sudah terbiasa hidup sendiri. Namun, melihat ketulusan mereka, hati saya luluh juga. Bersama Prof. Van der Berg, saya bisa mengenal kehidupan di Afrika dan mempelajari manfaat ramuan obat-obatan di sana. Bahkan, atas budi baiknya pula, saya bisa menekuni ilmu para-psikologi di Universitas Leuven.

Saya juga bisa pergi ke Prancis untuk belajar ilmu para-psikologi, yang pada dasarnya merupakan ilmu psikologi eksperimental. Di Eropa, baru perguruan tinggi di Prancis, Belanda, dan Belgia, yang memiliki jurusan para-psikologi. Setelah belajar sembari bekerja selama dua tahun di Prancis, akhirnya tiba waktunya saya kembali pulang ke Leuven. Menjelang kepulangan saya itulah, Prof. Van der Berg yang saya cintai dan hormati, meninggal dunia.

Lagi-lagi hati saya hancur. Untuk kesekian kalinya saya harus kehilangan orang yang saya sayangi. Tak cuma berperan sebagai ayah angkat, Prof. Van der Berg juga sudah saya anggap sebagai mentor yang rajin meyakinkan saya, bahwa dengan menekuni ilmu parapsikologi, saya bisa menerima diri saya secara apa adanya dengan lebih baik. Seperti layang-layang yang putus talinya di udara, saya kehilangan semangat belajar.

Entah berapa lama keadaan itu berlangsung. Sementara, kehidupan di Eropa seusai perang kondisinya sangat berat bagi saya untuk bisa meneruskan studi. Namun, Tuhan memang Mahabesar. Dalam keterpurukan hati itulah saya justru dipertemukan dengan seorang pria. Pemuda berkulit cokelat dan berambut hitam pekat itu adalah mahasiswa jurusan arsitektur di universitas Leuven. Namanya Natakusuma. Belakangan saya tahu bahwa dia berasal dari Indonesia, kelahiran Bandung.

Kisah pertemuan kami sangat romantis. Mirip adegan sinetron, saya berkenalan di perpustakaan kampus. Tanpa sengaja tangan kami saling bersentuhan ketika mengambil sebuah buku dengan judul yang sama! Hmm, saat mata saya bertatapan dengannya, hati saya berdebar kencang. Ah, inikah yang namanya jatuh cinta?
Setelah pertemuan pertama itu, kami menjadi dekat, terutama karena kami memiliki minat yang sama. Ketika akhirnya pemuda itu melamar saya untuk menjadi istrinya, saya tak mampu menolak. Tahun 1952, di usia 20 tahun, saya resmi menjadi istrinya dan diboyong ke Indonesia. Ya, Indonesia. Sebuah negara yang pernah saya lihat di peta, namun tak pernah terpikir selintas pun untuk tinggal di sana….

No comments: