Sunday, June 29, 2008

Autobiografi Mama Lauren (bag.3)


*** KULIHAT MAUT ‘MENGHAMPIRI’ SUAMI & ANAKKU ***

Ditinggal lebih dahulu oleh suami dan anak semata wayangnya, membuatnya nyaris menyerah.

Tidak pernah saya bayangkan bahwa saya akan menetap di ne*geri orang. Tepatnya tahun 1953, saya meninggalkan negeri kelahiran saya menuju Indonesia. Di tempat yang serba asing ini, saya pelan-pelan berusaha beradaptasi, bahasa, makanan, maupun budaya.

Ada kejadian lucu ketika saya bertemu pertama kali dengan keluarga suami di Bandung. Tanpa ragu, saya menyalami tangan mertua sebagai tanda hormat perkenalan. Mereka memang menerima saya dengan baik. Tapi, di kemudian hari, akhirnya saya tahu juga (melalui cerita suami), bahwa sebenarnya saya tergolong menantu ‘kurang ajar’. Lho?

Rupanya, sikap saya yang enggan melakukan sungkem, kurang berkenan di hati keluarga suami. Tapi, mau bagaimana lagi? Untuk urusan sungkem-sungkeman ini saya memang belum mampu melakukannya. Bahkan, sampai saat ini saya anti melakukan sungkem! Ha...ha…ha....

Walau demikian, tekad saya untuk melebur dalam tata cara Indonesia yang lain, saya lakukan dengan sepenuh hati, terutama belajar bahasa Indonesia dan mencicipi beragam makanannya. Sejak awal kedatangan ke Indonesia, sedapat mungkin saya berusaha menggunakan bahasa Indonesia. Saya mengatakan kepada suami agar jangan berbicara menggunakan bahasa Belanda dengan saya. Dengan kekerasan hati, akhirnya saya berhasil menaklukkan kedua hambatan tersebut. Malah, saya jadi ketagihan rendang!

Sebagai arsitek yang baru lulus, tentu saja Nata, suami saya, belum punya apa-apa. Karena itu, kami memulai rumah tangga dari nol dengan menyewa sebuah garasi di Jl. Sawo, Menteng, Jakarta Pusat, yang dirombak menjadi paviliun. Selama lima tahun, kami terus berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain. Baru pada tahun 1958, suami saya --yang saat itu bekerja sebagai pemborong bangunan-- mengajak saya pindah ke Kotabumi, Lampung Utara. Selama dua tahun kami tinggal di daerah perkebunan.

Putra kami, Mario Lorens Natakusuma, lahir di RS Xaverius, Tanjung Karang. Itulah saat-saat paling bahagia dalam hidup saya, menikmati kehidupan berumah tangga yang harmonis. Nata sangat memahami ‘bakat’ saya. Dia selalu berpikir positif, bahkan tanpa ragu pernah mempertemukan saya dengan Pak Rahim, seorang para-normal terkenal tahun 1960-an, di Jakarta, saat kami sudah kembali sudah kembali ke Ibu Kota.

Nata ingin agar potensi saya bisa terus diasah. Bahkan, ia juga mau mendengarkan nasihat saya yang melihat sesuatu tentang dirinya. Misalnya, dua minggu sebelum Gunung Agung di Bali meletus (1961), saya keukeuh melarangnya berangkat ke Bali. Untunglah dia mau mendengarkan, sehingga ia luput dari musibah.

Namun, dia pernah juga mengabaikan saran saya. Nata malah marah besar dan mengatakan agar saya tidak usil menyerempet urusan politik! Saya ingat benar, saat itu bulan Januari tahun 1965, saya memintanya agar tidak menerima borongan pekerjaan dari Istana Negara. Saya cemas karena ‘melihat’ suatu kekacauan akan terjadi, dan saya tidak ingin suami saya terlibat. Tiga minggu lamanya Nata mendiamkan saya. Saya sedih karena suami sendiri tidak memercayai saya.

Benar saja, beberapa bulan kemudian, di akhir September, meletus peristiwa G-30S, dan terjadi kekacauan di mana-mana. Proyek dari istana yang sedang digarap Nata sontak berantakan “Maafkan saya. Saya bangkrut karena tidak mau mendengarkan kamu,” akhirnya dia mengaku bersalah dan minta maaf pada saya. Apa yang bisa saya lakukan selain memaafkannya? Kekuatan supranatural saya memang sulit untuk dipahami.

Lagi-Lagi Kehilangan
Bulan Desember yang basah, tahun 1972. Sore itu kami sedang duduk bersama di beranda rumah. Tiba-tiba saya ‘melihat’ pemandangan yang tidak biasa. Saya melihat Nata tertidur pulas sekali. Matanya terpejam dan mulutnya tersenyum damai. Tetapi, mengapa ia tertidur di kursi, lama sekali tidak bangun-bangun?

Sebuah perasaan aneh yang sulit dilukiskan membuat saya tiba-tiba nyeletuk, menyarankannya agar memeriksakan jantungnya ke dokter. “Ah, ada-ada saja. Saya kan bukan pasienmu. Selama ini kamu kan tahu saya sehat-sehat saja,” candanya, tanpa mengindahkan saran saya yang serius. Duh, bagaimana saya harus menjelaskan bahwa saya tidak berkelakar? Saya benar-benar ‘melihatnya’….

Peristiwa itu akhirnya terjadi pada tanggal 23 Februari 1973, ketika Nata sedang asyik menggambar. Sebelumnya saya sudah memperingatkan dia agar segera tidur. Tapi, katanya dia belum mengantuk, Ia lalu menyuruh saya tidur lebih dulu. Berulang kali saya mondar-mandir ke ruang kerjanya, sampai akhirnya saya benar-benar ketiduran. Pukul 03.42 dini hari saya terbangun dan menggerutu karena melihat lampu di ruang kerja Nata masih menyala terang.

Namun, ketika mendatanginya, saya mendapati dia sedang tertidur di kursi. Pulas sekali. Matanya terpejam dan mulutnya tersenyum damai, persis seperti yang pernah saya ‘lihat’ sebelumnya. Hati saya pun mendadak pedih luar biasa. Saya tahu bahwa dia sudah pergi.

Jadi, jauh sebelum penderitaan itu datang, saya sendiri sudah lama merasakannya. Saya sudah melihat dan merasakan apa yang akan terjadi. Bencana alam, tabrakan, kekacauan politik yang mengerikan, dan kepergian orang-orang tercinta! Derita ini terlalu berat bagi saya!

Sepeninggal suami, saya tinggal berdua dengan Mario, anak sema-ta wayang kami yang masih kecil. Semua harta disita oleh bank karena perusahaan yang didirikan Nata bangkrut. Dia meninggalkan banyak utang sehingga rumah kami pun ikut disita. Satu-satunya perhiasan yang tersisa hanyalah sebuah cincin kawin.

Hanya dengan sebuah koper berisi pakaian dan menggandeng si kecil Mario, saya keluar dari rumah dengan perasaan nelangsa luar biasa. Selama ini saya sudah sering berpindah-pindah rumah mengikuti suami, dan itu saya lakoni dengan lapang dada. Bersamanya, saya menjalani hidup apa adanya. Berat dan ringan kami jinjing dan pikul bersama. Tapi, sekarang, tanpa Nata di samping saya, terus terang saya menjadi gamang.

Rasanya, di titik inilah saya hampir saja menyerah. Saya merasa tidak kuat lagi menjalani hidup. Ditinggal suami untuk selamanya tanpa harta sepeser pun, aduh, saya bingung mau pergi ke mana? Apakah saya harus pulang kembali ke Belanda? Merepotkan keluarga suami, saya sungkan. Mungkin, karena sebelumnya saya sudah terbiasa hidup mandiri. Tapi, sungguh, dalam keadaan seperti ini --luntang-lantung tanpa pekerjaan di negeri orang-- benar-benar menguras habis tenaga dan pikiran saya.

Malam itu juga, sebelum meninggalkan rumah kami yang penuh kenangan, saya khusyuk berdoa. Saya memohon kepada-Nya, jika memang saya tidak dibutuhkan lagi di dunia, tolong ambil saya secepatnya. Tetapi, kalau saya memang masih punya tugas (tiba-tiba saya teringat lagi saat-saat terbebas dari timbunan shelter yang roboh akibat bom), tolong berikan saya kemampuan untuk bertahan dan berjuang agar dapat mengubah kehidupan saya.

Kalau dipikir-pikir kembali, rasanya malam itu saya nyaris gila. Saya berdoa, berlutut, menangis sejadi-jadinya, dan bernegosiasi dengan-Nya. Kok, bisa-bisanya saya ‘berani mati’ mengadakan perjanjian dengan Sang Pencipta? Mungkin, karena saya sudah mentok. Saya merasa hidup sudah tak lagi bermakna.

Beruntung seorang teman berbaik hati meminjamkan uang untuk menyewa sebuah kamar di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Mungkin, itulah jawaban Tuhan untuk saya, bahwa masih ada pertolongan dari-Nya. Selanjutnya, karena harus membiayai hidup saya dan Mario, saya berusaha untuk bangkit lagi. Saya mulai berjualan pakaian dan berbagai barang kebutuhan sehari-hari. Apa pun rela saya lakukan asalkan halal.

Sampai pada suatu hari, saya bertemu dengan seorang pedagang kopi, yang sudi memercayakan saya untuk ikut berjualan. Dari teman ke teman, bahkan dari pintu ke pintu, saya menjajakan kopi bubuk. Tak jarang saya menerima perlakuan tidak menyenangkan. Mungkin, mereka curiga karena saya wanita asing, berambut pirang, dan tinggi besar pula. Namun, hal-hal seperti itu tak saya ambil hati. Yang penting, saya mampu memperoleh sedikit keuntungan.

Pada tahun 1978, terjadi perampokan di sebuah pabrik di Cibinong. Pedagang kopi yang baik hati itu (dan tahu tentang ‘bakat’ saya) lantas mengajak saya untuk membantu direktur pabrik yang sedang mengalami kesulitan. Tanpa mengharapkan imbalan sepeser pun saya bersedia membantu untuk ‘melihat’ siapa yang terlibat dalam perampokan tersebut. Berbekal kekuatan supranatural yang sulit saya jelaskan, akhirnya diketahui bahwa dalang perampokan adalah satpam pabrik itu sendiri.

Rupanya, rencana Tuhan kembali bekerja di dalam kehidupan saya. Sebuah harian ibu kota, Buana Minggu, memuat berita tersebut. Bahkan, pengasuh harian itu menawarkan sebuah pekerjaan yang tak pernah saya bayangkan, yaitu ‘buka praktik’ di kantor mereka di kawasan Tanah Abang, sebagai paranormal!

Terus terang, mulanya saya merasa keberatan. Saya tidak punya ambisi untuk memanfaatkan talenta saya untuk dikomersialkan. La*gi pula, apa enaknya, sih, mengetahui hari esok? Sekian lama saya su*dah mengalaminya sendiri. Hasilnya hanya menimbulkan banyak kejadian aneh, sekaligus selaksa penderitaan. Mengapa orang lain yang lebih beruntung dari saya justru ingin merasakannya?

Namun, pedagang kopi yang akhirnya menjadi teman baik saya itu menyarankan agar saya memanfaatkan potensi khusus itu. “Tidak usah berpikir yang bukan-bukan,” katanya, tegas. ”Kamu itu memiliki potensi luar biasa, mengapa harus disembunyikan? Toh, dengan menjalani profesi paranormal, kamu justru punya banyak kesempatan untuk membantu orang lain.”

Kalimat yang dia ucapkan intinya hampir sama dengan du*kungan suami saya selama ini. Mengasah potensi. Bahkan, saya lantas disentakkan oleh suatu realitas bahwa ternyata saya juga bisa, membantu orang banyak melalui ‘bakat’ saya ini. Ah, Tuhan, apakah ini jawaban yang saya tunggu-tunggu selama ini? Inikah misi pen-ting yang harus saya emban?

Entah bagaimana ceritanya, akhirnya jadi juga saya menerima tawaran untuk ‘buka praktik’ di Tanah Abang. Mula-mula yang datang hanya satu dua orang per hari, sampai akhirnya menjadi banyak sekali. Saking banyaknya, mereka sampai ‘mengejar’ saya ke rumah. Setelah enam bulan di Tanah Abang, saya memutuskan lebih baik buka praktik di rumah saja.

Dan, ketika para klien memberi imbalan tanpa saya minta, saya pun mulai berpikir secara rasional. “Inikah jalan untuk mencari nafkah dari-Nya yang harus saya tempuh?” Apalagi, saat itu Mario sedang membutuhkan biaya besar un*tuk mendaftar ke ASRI, Yogyakarta.

Sejak lama dia memang tertarik mendalami seni, terutama seni rupa. Saya juga tidak pernah melarangnya untuk bergabung dengan Bengkel Teater pimpinan Rendra. Prinsip saya dalam mendidik anak, hidupnya adalah miliknya sendiri, bukan milik saya. Tugas saya hanya mendampingi dan memberikan yang terbaik untuk bekal kehidupannya kelak.


No comments: