Sunday, June 29, 2008

Autobiografi Mama Lauren (bag.5)


*** JANGAN SEBUT SAYA PARANORMAL ***


Cenayang-cenayang muda terus bermunculan, dengan keahlian yang makin canggih. Namun, popularitas Mama Lauren tak pernah pudar.

Kematian Mario, putra tunggal saya, benar-benar meludeskan cadangan daya tahan saya. Saya pun memberontak kepada-Nya. Saya menantang, saya berteriak, bahkan saya memaki-Nya. Mengapa Dia tak henti ‘membanting’ saya, nyaris tanpa jeda? Mengapa Dia begitu senang mempermainkan hidup saya, seolah saya boneka yang bisa Dia mainkan seenaknya? Bahkan, harta saya satu-satunya yang tersisa, Mario, juga harus diambil-Nya begitu cepat. Kehilangan Mario adalah pukulan terberat bagi saya. Entah berapa lama saya berkubang dalam penderitaan, dan membuat saya sempat kehilangan tujuan hidup.

Tuhan ‘Meledek’ Saya
Tapi, masih ada Hendrik, suami saya. Juga dua bocah kecil, cucu saya. Saat itu, Nuh baru berusia 1 tahun 3 bulan, dan Kreshna, 2 tahun 3 bulan. Mereka masih sangat membutuhkan saya. Sebelum meninggal, Mario memang sudah berpisah dari istrinya. Sang istri memutuskan meninggalkan Mario (berikut kedua anaknya), untuk memulai hidup baru.

Menatap kedua bocah kecil itu, tak jarang hati saya tercabik. Di satu sisi, saya begitu mencintai mereka. Di sisi lain, mereka selalu menghadirkan bayang-bayang Mario di pelupuk mata saya. Tapi, kalau saya tidak segera bangkit dari kesedihan, bagaimana nasib mereka kelak? Bukankah sebelum meninggal, Mario berpesan agar saya selalu menjaga kedua putranya sebaik mungkin? “Mereka adalah anak-anak Mami dan Abang juga….” Amanat terakhir Mario itu terus terngiang di telinga saya.

Pesan itu pulalah yang membuat saya berusaha keras untuk bangkit dan membenahi hidup serta hati saya yang hancur lebur. Yang pertama kali saya lakukan adalah mencoba menerima kenyataan. Mario sudah meninggal dan tidak akan pernah kembali ke pelukan saya lagi. Selamanya. Sungguh tidak mudah! Hari-hari saya seolah berjalan bagai siput.

Namun, benar kata pepatah, waktu akan menyembuhkan luka. Dengan berlalunya waktu, ditambah dengan kesibukan mengurus Nuh dan Kreshna, perlahan-lahan saya bisa melupakan kesedihan saya. Tanpa bantuan baby sitter, saya mengasuh dua bocah lelaki itu. Bayangkan, di usia hampir setengah abad, saya harus mengurus bayi lagi. Namun, anehnya, lama-kelamaan saya makin menikmatinya.

Berserah diri dan bersyukur, mungkin itulah kunci utama saya bisa tetap bertahan. Di tengah kegalauan dan kesedihan saya, untunglah Hendrik selalu mendukung. Sejak menerima lamarannya, saya sudah tahu keteguhan hatinya, juga komitmennya.

Dia menikahi janda dengan satu anak, dan usia saya jauh lebih tua darinya, sehingga kemungkinan kami tidak mendapatkan keturunan, sangat besar. Sementara, dia masih muda dan bujangan. Toh, ia tidak pernah mempermasalahkan semua itu.

Ya, berkat dukungan Hendrik pula, akhirnya saya bisa mengembalikan rasa humor saya. “Jangan-jangan Tuhan sedang mengajak saya bercanda. Dia ‘meledek’ saya. Dia mengambil Mario, tapi menggantinya dengan dua anak lelaki sekaligus!”

Stroke Menyerang
‘Mami’ dan ‘Bapak’ adalah panggilan sayang Nuh dan Kreshna kepada saya dan Hendrik. Dan, saya juga tahu, Hendrik sangat menyayangi mereka seperti anak sendiri. Ketika Nuh dan Kreshna masih kecil, seperti halnya sebuah keluarga, kami juga sering tamasya bersama. Menemani jalan-jalan, merayakan pesta ulang tahun mereka, atau sekadar memasakkan makanan kesukaan keduanya, membuat saya benar-benar merasa lengkap sebagai seorang ibu sekaligus nenek.

Tanpa terasa, dua bocah cilik itu kini sudah menjelma jadi pemuda yang tampan. Malam-malam penuh tangis bayi, berlalu sudah. Rasanya baru kemarin saya melihat keduanya belajar jalan, tumbuh gigi, dan saling gontok-gontokan berebut mainan. Tak dapat disangkal, kehadiran mereka ibarat nyala pelita yang menghangatkan rumah dan hati kami.

Sederet mimpi buruk yang menghantui saya bertahun-tahun pun sirna. Padahal, sebelumnya, hampir setiap malam saya bermimpi hal yang sama. Saya dibuang dari ketinggian sebuah pura ke laut. Sementara, suami saya sedang menjalani prosesi pembakaran jenazah. Ya, saya dibuang ke laut dan suami saya dibakar, bukankah itu hal yang sama?

Semula, saya tidak tahu bahwa peristiwa dalam mimpi itu terjadi di Pulau Dewata, sampai akhirnya saya bertemu seorang pedande (pendeta Hindu Bali), dan melakukan meditasi bersamanya. Ternyata, pura dalam mimpi saya adalah Pura Batu Bulan di daerah Gianyar, Bali. Ya, saya memang percaya reinkarnasi. Karena itu, saya juga percaya, ratusan tahun yang lalu, saya benar-benar pernah hidup di Bali. Ah, saya tidak tahu, apakah mimpi buruk itu hilang karena saya akhirnya menemukan harta lain yang tak kalah berharga, yaitu Nuh dan Kreshna.

Seiring dengan itu, profesi saya sebagai paranormal pun makin bersinar. Mungkin, karena ramalan-ramalan saya dianggap jitu, orang makin banyak datang mencari saya untuk minta bantuan. Bayangkan, tujuh hari dalam seminggu, saya melayani klien dan pasien-pasien saya. Dan, kalau dihitung-hitung, setiap harinya saya bisa melayani 20 orang.

Melelahkan memang, tapi saya sungguh senang menjalaninya. Bukan karena alasan materi semata. Ya, saya tidak munafik bahwa saya memang perlu uang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan membesarkan kedua cucu saya. Tapi, lebih dari itu, saya senang bisa menolong sesama.

Namun, kesibukan itu juga membawa konsekuensi tersendiri. Saya jadi sering lupa pada usia. Dan, terus terang, saya pun dengan sengaja mengabaikan vision tentang diri sendiri. Padahal, sebelum hari itu datang, tepatnya 23 November 2005, saya sudah ‘tahu’ bahwa saya akan jatuh sakit.

Dan, benar saja. Pagi itu, ketika saya mau bangun ke kamar mandi untuk buang air kecil, tiba-tiba saja tubuh saya tidak bisa bergerak. Karena tuntutan ke toilet tak tertahankan lagi, saya terpaksa membangunkan Hendrik yang masih tidur nyenyak. “Pak, mau tolong saya nggak? Saya kepingin ke kamar mandi.”

“Tumben,” jawabnya, masih mengantuk. ”Mami takut apa?”

“Saya… saya tidak bisa jalan!”

Akhirnya saya mengaku bahwa tubuh saya kaku dan tak bisa digerakkan sama sekali. Mendengar rintihan saya, pagi itu juga saya langsung dilarikan ke RS Mitra Internasional Jatinegara. Dari hasil pemeriksaan lengkap, saya dinyatakan menderita… stroke!

Kaki dan tangan saya yang sebelah kiri menjadi lumpuh mati rasa. Saya sangat tersiksa, karena sebelum terkena stroke, pada dasarnya saya adalah orang yang sangat aktif dan tidak bisa diam. Pendeknya, selalu mandiri melakukan segala sesuatu, dan sebisanya tidak meminta bantuan orang lain.

Alhamdulillah, berkat tekad yang kuat untuk sembuh, serta menjalani terapi secara disiplin, bagian kiri tubuh saya yang lumpuh akhirnya bisa normal kembali. Walaupun belum sempurna, sekarang saya sudah merasa jauh lebih sehat. Dan, mungkin, karena pernah merasakan sendiri bagaimana menderitanya orang yang kena stroke, kini saya belajar menjadi orang yang jauh lebih sabar.

Selain itu, kini saya juga harus membatasi diri dalam menerima tamu. Cukup empat hari seminggu. Rabu, Sabtu, dan Minggu, saya tidak terima tamu. Saya pun membatasi jumlah klien, hanya 4 – 5 orang saja per hari. Ya, setiap penderitaan pasti ada hikmahnya. Ya, saya bersyukur bisa merasakan sakit seperti ini, karena pada akhirnya saya mampu bersabar sampai ke ujung-ujung rambut….

2 comments:

all about friends said...

nice blog..,maju perut pantat mundur....he he he

all about friends said...

nice blog..,maju perut pantat mundur....he he he