Sunday, June 29, 2008

Autobiografi Mama Lauren (bag.4)


*** KULIHAT MAUT ‘MENGHAMPIRI’ SUAMI & ANAKKU ***

Ditinggal lebih dahulu oleh suami dan anak semata wayangnya, membuatnya nyaris menyerah.

Ketemu Jodoh Lagi
Berangsur-angsur, kehidupan saya menjadi lebih baik. Dari kamar kontrakan di Kampung Melayu, saya akhirnya bisa mengontrak rumah di kawasan Kebon Baru, Tebet. Di sinilah, suatu hari, melalui seorang teman, saya berkenalan dengan seorang pelaut ganteng asal Tapanuli, Hendrik Pasaribu.

Ketika melihat pemuda lulusan AIP angkatan tahun 1974 itu memasuki pintu rumah saya, hati saya langsung berdetak kencang. Sungguh mati, saya tidak pernah mengenal dia, tapi mengapa rasanya saya tidak merasa asing dengan sosoknya? Seolah kami pernah bertemu di suatu masa, ratusan tahun silam....

“Kamu percaya reinkarnasi?” Entah kenapa, saya spontan bertanya seperti itu kepadanya. Dan, ketika dia menjawab, ”ya,” saya mengatakan lebih lanjut, “Di kehidupan sebelumnya, rasanya kamu pernah menjadi saudara saya. “

“Ya, ya,” katanya, tak kalah antusias. ”Saya juga merasa aneh, karena kamu seperti tidak asing lagi bagi saya.”
Saya ingat betul, saya lantas mengatakan kepada seorang teman (yang juga merupakan teman Hendrik) bahwa saya dan Hendrik memang berjodoh. “Laki-laki ini akan menjadi suami saya,” ujar saya, yakin.

Teman saya malah tertawa. “Mana bisa?” katanya. Dia lantas mengingatkan bahwa usia Hendrik jauh lebih muda daripada saya. Bedanya sampai 15 tahun. Bahkan, statusnya pun masih bujangan! Dianggapnya saya hanya berkelakar, mengada-ada.

“Kita buktikan saja. Toh, saya dan Hendrik harus menyelesaikan karma,” jawab saya, ikut tertawa. Ya, saya memang sangat percaya pada karma dan reinkarnasi. Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita petik. Pohon pepaya tidak mungkin berbuah pisang, bukan? Terbukti, Saya dan Hendrik Pasaribu ternyata benar berjodoh. Hal itu juga yang Hendrik yakinkan kepada saya, ketika setelah 12 tahun mengarungi perairan Samudra Indonesia, akhirnya dia memutuskan untuk berlabuh total, dan melamar saya untuk menjadi istrinya!

Hendrik mengatakan, walaupun (setelah ketemu saya) dia sudah kembali berlayar selama enam bulan, nyatanya dia selalu ingin pulang ke pelukan saya. “Saya ingin membina rumah tangga bersamamu dengan kesadaran dan komitmen penuh,” katanya, tegas. Duh, wanita mana yang hatinya tidak meleleh mendengar janji seperti itu?

Hendrik yang saya kenal kemudian memang akhirnya menjadi sahabat baik saya. Kami bahkan seperti saudara saja (selain tentunya sebagai kekasih!). Putra saya, Mario, mendukung sepenuhnya. Sebelum menikah dengan saya, Hendrik berteman cukup baik dengan Mario dan ia memanggilnya ‘Bung Hendrik’. Mereka kerap bercanda bersama. Mungkin, itulah yang akhirnya mendekatkan kami sebagai suatu keluarga yang utuh. Saya dan Hendrik Pasaribu menikah 29 Mei 1982, di saat usia saya hampir setengah abad!

Kebahagiaan saya makin bertambah ketika Mario juga akhirnya menikah dengan pujaan hatinya. Berturut-turut, di bulan Juni tahun 1982 dan 1983, Mario menghadiahi kami dua orang cucu lelaki yang tampan: Nuh Prabawa dan Kreshna. Nama cucu per-tama saya itu diberi oleh Rendra.

Cobaan Berat Itu Datang Lagi
Vision yang menghampiri saya tidak pernah diundang datangnya. Baik dalam keadaan senang maupun sedih, dia tiba-tiba menjelma di dalam benak saya. Saat sedang menantikan kelahiran cucu kedua di rumah sakit itulah saya kembali mendapat pertanda tidak enak.

Ada sebuah rumah yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Dan, yang menjadi pertanda buruk, di altar rumah itu saya melihat ada sebuah peti mati. Lalu, sekelebat saya melihat Mario mendatangi saya. Namun, tiba-tiba saja ia berubah wujud menjadi tengkorak! “Duh, Mario, kamukah yang berada dalam peti mati di altar rumah itu?” batin saya bertanya-tanya. Namun, sekuat daya, saya mencoba menghilangkan resah yang mendera akibat bayangan buruk itu.

Sampai suatu saat, tanpa diduga saya harus pindah rumah lagi ke Jalan Klingkit, Menteng Atas. Rumah itu besar dan memiliki halaman yang luas. Setelah seminggu berada di sana, saya baru menyadari bahwa saya tidak asing lagi dengan rumah itu. Apalagi, rumah itu memiliki altar. Di altar itulah saya pernah ‘melihat’ peti mati itu!

Ya, Tuhan, cobaan apa lagi yang akan datang menimpa saya? Saya lantas berdoa habis-habisan, hampir sepanjang hari, selama berbulan-bulan. Saya berdoa agar kami sekeluarga terhindar dari malapetaka. Tapi, entah kenapa, sisi lain diri saya menyadari sepenuhnya bahwa saya tak akan pernah bisa mampu menolak takdir yang akan datang!

Malam, 3 Oktober 1985. Mario datang minta izin main band bersama teman-temannya ke luar kota. Saat itu saya melakukan suatu hal yang tak pernah saya lakukan sebelumnya. Saya menonton televisi sendirian di ruang tamu. Dan, saat saya melihat Mario mendatangi saya dari pintu masuk, jantung saya tiba-tiba terasa sakit sekali, seolah ditusuk pisau belati yang sangat tajam. Menimbulkan luka berdarah yang tak terperikan.

“Jangan pergi, Mario!” Tiba-tiba saja saya melarangnya. Suatu hal yang juga tak pernah saya lakukan sebagai orang tua, yaitu melarang anak untuk melakukan sesuatu yang dia inginkan.

Ada apa, Mami? Jangan bercanda, ah. Saya tak mungkin membatalkan kontrak,” katanya. Ia malah tertawa melihat kecemasan saya yang berlebihan. Akhirnya dia pun pergi setelah mencium kening saya dengan lembut.
Saya ingin menangis sejadi-jadinya. Saya tahu sesuatu akan terjadi menimpanya. Dan, saya juga tahu pasti, saya tidak mampu mencegahnya! Bahkan, saya tidak bisa berbicara apa-apa lagi ketika dia berpesan bahwa saya tidak boleh lagi menonton teve sendirian seperti ini.

Nuh dan Kreshna, kedua cucu saya yang tampan, dimintanya untuk selalu menemani saya. “Mereka harus selalu di bawah bimbingan Mami. Mereka anak Mami dan Bung,” katanya, ter-senyum. Lalu, dia pergi. Setelah sampai di muka pintu pagar, dia kembali lagi, merangkul dan mencium saya berulang kali. Membuat saya tambah yakin bahwa Mario memang akan pergi. Putra semata wayang saya akan pergi jauh....

Benar saja. Pukul 08.00 pagi, telepon di rumah saya berdering. Kabar itu disampaikan pihak kepolisian. Mario kecelakaan! Dia mengalami luka parah dan ketiga teman yang sedang bersamanya langsung meninggal dunia! Bergegas saya lari ke RS Tangerang, sementara suami saya bergegas ke kantor polisi.

Saya hampir pingsan ketika mendapati Mario yang sedang kritis. Tapi, saya masih diberi kesempatan bertemu dengannya dalam keadaan hidup. Bahkan, dia sempat berpesan, untuk kesekian kalinya, agar kedua anak lelakinya yang masih kecil, Nuh dan Kreshna, berada dalam bimbingan saya. Setelah itu, dia koma dan tidak pernah sadarkan diri lagi. Ya, Tuhan, sekali lagi Engkau mengambil permata hati saya.


No comments: